Langsung ke konten utama

Covid-19 dan Kemandirian Industri Farmasi Nasional

ilustrasi obat
Foto ilustrasi: iStock

Pandemi Covid-19 membuat dunia dalam kondisi nyaris hibernasi. Segala kegiatan yang tidak mendesak dibatasi bahkan dihentikan untuk memperlambat penyebaran virus dan melandaikan kurva infeksi. Selain untuk menekan angka kematian dan perlambatan penyebaran virus, hal tersebut juga untuk memberikan waktu bagi para ilmuwan agar segera menemukan obatnya.

Pandemi dan penyebaran wabah yang begitu masif tentu memaksa kesigapan semua negara meningkat, termasuk dalam hal ketersediaan obat-obatan. Terkait dengan hal ini, tentunya tidak dapat terlepas dari ketahanan industri farmasi nasional yang merupakan salah satu pilar penting pembangunan kesehatan nasional.

Tantangan dan Isu Strategis

Menengok ke belakang, pada 2016, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 untuk mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri. Dalam inpres tersebut, Presiden memerintahkan seluruh instansi terkait untuk memaksimalkan peran dan kewenangannya untuk mendukung percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan.

Empat tahun berlalu, inpres tersebut belum membawa angin segar bagi dunia farmasi nasional. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan bahwa 90 persen bahan baku obat (BBO) saat ini masih impor. China merupakan pemasok utama yang memenuhi 70% kebutuhan kita, diikuti India (20%), dan sisanya Amerika Serikat dan Eropa.

Ketergantungan yang tinggi itu membuat daya saing obat nasional tergerus karena lemahnya posisi tawar terhadap importir. Erick Thohir berjanji akan melakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan impor BBO. PT Kimia Farma Tbk (KAEF) sebenarnya sudah melakukan upaya produksi BBO sejak 2016 melalui anak usahanya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP), meskipun masih dalam skala relatif kecil.

Perintah dalam Inpres 6/2016 memang tak menyentuh masalah fundamental industri. Dalam praktiknya, industri obat kita masih terkungkung dalam lima persoalan strategis, yang oleh Michael Porter disebut Five Forces. Porter, guru besar strategi bisnis di Harvard Business School, menjabarkan lima problem tersebut, yaitu hambatan bagi pendatang baru, daya tawar pemasok, daya tawar pembeli, ancaman substitusi, dan persaingan competitor.

Membangun industri BBO berarti menjadi pemain baru di tengah korporasi global. Kekuatan modal menjadi kunci karena industri farmasi memerlukan teknologi mutakhir dan SDM yang mumpuni. Pemain baru juga akan terganjal oleh hak paten yang sudah dikuasai pemain eksisting. Ada kecenderungan produk baru sulit bersaing karena harga yang lebih tinggi akibat kecilnya skala industri dan belum adanya loyalitas pelanggan.

Melihat fakta tingginya ketergantungan impor BBO, maka menjadi pekerjaan besar untuk membangun industri farmasi di Tanah Air. Hal ini karena rentan terhadap fluktuasi valuta asing. Di samping itu, negara eksportir BBO seperti Tiongkok dan India mempunyai kekuatan untuk menentukan harga, membuat perusahaan obat tidak punya pilihan. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah berupaya mendorong produksi kimia dasar sebagai bahan dasar produksi BBO, namun perlu waktu panjang untuk mencukupi kebutuhan.

Jika BBO tetap diproduksi dengan segala keterbatasan akibat dua faktor di atas, maka mimpi buruk akan dialami. Pada era globalisasi ini, hanya segelintir konsumen yang mengutamakan nasionalisme dalam membeli produk. Yang termurah tetap akan juara, apalagi jika produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang sama dengan yang selama ini beredar di pasaran. Tanpa harga yang kompetitif, sulit bagi pemain baru untuk bertahan.

Kalaupun produk yang dihasilkan dianggap berkualitas, bukan tidak mungkin ada ancaman produk substitusi yang bisa menjadi pilihan pembeli, tentu dengan harga yang lebih murah. Tiongkok dengan kekuatan industrinya terbukti siap memberikan apapun yang diminta pasar dengan harga yang lebih kompetitif.

Problem terakhir adalah ketatnya persaingan antarkompetitor. Korporasi besar dunia bersaing dengan kekuatan modal dan skala ekonomi yang besar. Bagi perusahaan yang baru terjun ke dalam persaingan jika tanpa fondasi yang kuat dan tanpa memperhatikan keempat faktor di atas, maka dapat dipastikan tersingkir dini dari persaingan.

Dukungan Kebijakan

Menilik beratnya hambatan pengembangan industri farmasi nasional, maka penerbitan inpres saja terbukti belum cukup untuk jadi solusi, harus diikuti dukungan kebijakan yang lain. Pemerintah dituntut untuk berperan lebih, di antaranya dengan menyusun road map industri farmasi, membuat skala prioritas, tata niaga, dan paket insentif yang menarik untuk memperkuat pelaku industri farmasi yang selama ini berjalan lunglai tertatih.

Jika pemerintah berketetapan untuk memperkuat industri farmasi nasional, assessment risiko harus diperhitungkan secara matang. Insentif, termasuk berupa keringanan pajak akan berpotensi mengurangi pendapatan negara. Insentif sangat penting karena farmasi adalah industri padat modal dan SDM, tetapi butuh waktu panjang untuk pengembalian modal apalagi membukukan keuntungan. Insentif juga akan mendorong industri kimia dasar dan riset obat.

Selanjutnya, perlindungan dalam bersaing dengan asing menjadi vital. Di sini, pemerintah harus berani untuk mengambil risiko, misalnya menerbitkan regulasi yang membatasi impor produk obat yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Regulasi yang juga perlu diinisiasi adalah penyiapan dasar hukum pembentukan otoritas obat-obatan yang mandiri dan bisa menggali potensi obat khas Nusantara.

Pemerintah memang berada dalam posisi sulit untuk menunjukkan komitmennya kepada industri farmasi. Selain risiko dari pemberian insentif, penerbitan regulasi yang memproteksi produk lokal akan berhadapan dengan semangat global yang mendorong pasar bebas. Namun, pandemi Covid-19 memberikan pesan yang kuat bahwa setiap negara harus bertumpu pada kekuatannya, termasuk industri obat-obatan sendiri untuk bertahan dari hempasan krisis. Tidak ada kata terlambat untuk memulai suatu kebaikan!

Zainal Abidin Komisaris PT Phapros Tbk

SC : https://www.idntimes.com/science/discovery/viktor-yudha/10-fakta-unik-tentang-farmasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menkes : Covid-19 Jadi Momentum Kebangkitan Obat Modern Asli Indonesia

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kiri) didampingi pimpinan Dexa Group Ferry Soetikno (kanan) meninjau proses produksi produk farmasi di Dexa Site Cikarang, Jawa Barat, Jumat (21/2/2020). ( Foto: istimewa ) Menteri Kesehatan (Menkes), Terawan Agus Putranto mengatakan, salah satu solusi saat ini adalah mendorong riset penemuan dan hilirisasi produk obat modern asli Indonesia (OMAI). OMAI, kata Menkes, jadi substitusi bahan baku impor dari Tiongkok yang kini berhenti produksi karena wabah Covid-19. Selain Kemkes, kemandirian di sektor kesehatan melalui pengembangan produksi obat-obatan dan alat kesehatan dalam negeri, termasuk OMAI telah mendapatkan dukungan beberapa kementerian lain. Di antaranya adalah Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Menkes mengatakan, ke depan istilah fitofarmaka atau obat herbal yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah melalui uji pra

3 Proyek Penemuan Obat Baru GSK Untuk Mengatasi Resistensi Antibiotik

Gambaran Singkat Proses Pengemasan Vaksin di GlaxoSmithKline 3 Proyek Penemuan Obat Baru GSK Untuk Mengatasi Resistensi Antibiotik.  Perusahaan Farmasi berbasis di Brentford, London, Inggris memiliki komitmen dalam memberantas fenomena resistensi antibiotik. [Baca :  Resistensi Antimikroba Akan Lebih Berbahaya Dibanding Kanker di Tahun 2050 ] Dalam 25 tahun terakhir, peningkatan yang stabil dalam bakteri kebal terhadap antibiotik telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat global. Dengan munculnya resistensi terhadap pengobatan yang paling banyak digunakan dan beberapa antibiotik baru dalam pembangunan, para ahli telah memperingatkan kembali ke era pra-antibiotik, di mana prosedur medis tidak akan lagi dapat berlangsung, dan pasien dapat secara rutin meninggal karena infeksi ringan. Menanggulangi resistensi antibiotik merupakan tantangan GSK yang ingin menjadi bagian dari pemecahan masalah, tetapi satu perusahaan tidak bisa melakukannya sendiri. Karena berbagai kompleksitas